Joy of Missing Out. Ga ikut trend?, ga masalah.

Zaman sekarang, tuntutan buat terus produktif terus menghantui kita setiap hari. Kita dituntut untuk melakukan sebanyak mungkin dan secepat mungkin. Bermalas-malasan adalah sebuah “dosa”, karena katanya hidup cuma sekali. 

Cara pandang ini berasal dari kemajuan di segala bidang dimana segala hal berlalu begitu cepat, Di Instagram kita lihat kawan yang tiba-tiba sudah wisuda padahal kita baru aja mulai, kawan yang sudah pindah tempat kerja padahal kita masih disiti-situ aja atau kawan yang liburan ke luar negeri.
 
Dalam hidup kadang kita butuh keberanian lebih buat melawan ketakutan kita sebab banyak tantangan yang akan kita hadapi untuk berpindah dari satu hal kepada hal lain. Lebih baik kita melakukan sesuatu yang mungkin kita sesali daripada menyesal karena tidak melakukannya.

Hidup produktif menjadi tuntutan bagi generasai kita dimana kita bisa mengamati orang lain hampir tanpa batas dan membandingkan dengan kita sendiri. Padahal, kita tidak bisa mencerna semua informasi yang tak berhenti berseliweran di gadget canggih kita. Kita bahkan tak punya cukup waktu buat sekedar membaca novel romantis atau cerita horror. Atau sekedar minum teh di pagi hari sambil nonton film Spongebobs. Seakan akan hidup kita harus selalu ada di bagian “Refrain”.

Zaman sekarang banyak orang yang berekspektasi terlalu tinggi. Kadang memang sangat mengesalkan, kadang malah jadinya timbul kecemasan berlebihkalau gagal memenuhi ekspektasi tersebut. Gejala tersebut dinamana FOMO (Fear of Missing Out). Menurut studi, FOMO adalah perasaan cemas yang melingkupi seseorang akibat merasa tertinggal dari hal-hal yang baru terjadi. Temuan dari studi tersebut mendapati bahwa pergaulan, tingkat kepuasan hidup dan kepercayaan terhadap kompetensi diri yang rendah mendorong seseorang untuk lebih mudah terkena FOMO.

Gangguan ini kian relevan di era Internet di mana kondisi yang memperlihatkan ketergantungan kita yang tak bisa berhenti mengonsumsi apa yang ada di linimasa media social kita

Eksistensi digital membuat kita terobsesi dengan banyak hal. Kita tak ingin ketinggalan berbagai postingan keributan politik, meme-meme usil yang menggelitik, tempat nongkrong yang sedang hits, dan foto-foto liburan teman yang membuat iri, postingan instagram yang mengharapkan banyak like dan gangguan yang sebenarnya tidak perlu tapi muncul seiring perkembangan dunia per media so-sialan.

Fenomena ini menyebabkan kecenderungan kita untuk terus terkoneksi dengan media sosial. Kita tak bisa berhenti mengecek aplikasi percakapan, email, dan media sosial yang membuat kita seakan tidak bisa menikmati sedikitpun momen-momen kecil yang sepenuhnya kita miliki. Bahkan sudah jamak jika kita memiliki hal kecil yan terjadi di dunia nyata pun serta merta harus dibagikan di media social kan?,

Namun, keresahan yang disebabkan FOMO bukan berarti tak memiliki obat. ada yang namanya Joy of Missing Out (JOMO) yang mengajak kita menemukan esensi hidup yang lebih berarti. Kalau tidak bisa lepas setidaknya kita bisa merasa sesaat merasa tenang, mungkin sebatas weekend satu atau dua hari.

Jika FOMO membuat kita merasa seperti dikejar-kejar tanpa henti oleh tren, ekspektasi, dan perbandingan hidup dengan orang lain, JOMO memperbolehkan kita untuk melangkah lebih pelan, menyelami ketentraman yang diperoleh dengan memutuskan diri dari segala koneksi digital. Kita bahkan diperbolehkan untuk mereguk kenikmatan dengan tidak melakukan apa-apa.

Lantas dosa kah keinginan untuk tidak melakukan apa apa tersebut?.

Dalam JOMO, kesenangan justru diperoleh dari perasaan ketertinggalan dan kegiatan tidak produktif. Saat kita hadir sepenuhnya menikmati sebuah momen tanpa terikat dengan hal-hal di luar diri sendiri, kita memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk bisa fokus mengenal kebutuhan yang esensial bagi diri.

JOMO sebenarnya merupakan praktik pengendalian diri terhadap obsesi berlebih. JOMO tak menuntut kita untuk seratus persen terlepas dari koneksi media sosial, melainkan kita dapat menetapkan batasan waktu penggunaan media sosial setiap harinya. JOMO juga menekankan betapa pentingnya melatih diri untuk mengatakan “tidak” pada sesuatu yang di luar daftar prioritas kita.

Rasa bersalah kerap kali melingkupi saat menerapkan JOMO. Bagi Fuller, ini bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan.

Karena memutus koneksi dari pertemanan superfisial di media sosial atau ketinggalan momen-momen konyol yang jadi perdebatan di dunia maya lebih baik ketimbang memutuskan koneksi dan kehilangan waktu dengan orang-orang terdekat. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga juga menjadi bagian dari praktik JOMO.

Setidaknya kadang kita harus paham bagaimana memedakan ekspektasi yang kita miliki itu adalah sebuah ambisi atau hanya obsesi untuk merasa lebih baik dari orang lain.

JOMO pelan-pelan menggantikan ketakutan akan ketertinggalan dan perasaan bersalah dengan kebebasan. Saat kita merasa terbebas dari segala ekspektasi, baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun dari orang lain, maka kita mulai bisa menyingkirkan perasaan negatif dan mengubah pandangan kita terhadap tuntutan produktifitas yang selama ini menghantui.

Manusia tidak selamanya ditentukan oleh apa yang dia perbuat, apa yang tidak dia kerjakan juga membentuk siapa dirinya. Lebih dari sekedar gaya hidup, JOMO sebaiknya diterapkan sebagai seni berkehidupan yang menuntun kita memperoleh ketenangan diri.

Setidaknya mari kita mulai berhenti mengalami ketergantungan dengan media social yang menjadikan kita seolah menjadi orang asing, lakukan hal kecil seperti mendengarkan playlist spotify favorit kita di teras dengan segelas teh hangat di pagi hari dan buku-buku motivasi penulis terkenal favorit kita di hari libur. Dan jangan lupa sesekali log-out semua akun media social jika memang bias.

*Dikutip dari berbagai sumber dengan perubahan semestinya

Komentar

Postingan Populer